Fenomena BRAIN ROT Intai Generasi Muda

oleh -21 Dilihat

JAKARTA – Fenomena “Brain Rot” Bukan Istilah Medis

Samarinda – KBRN, Samarinda: Istilah brain rot tengah ramai diperbincangkan di kalangan anak muda, khususnya generasi Z, sebagai ungkapan untuk menggambarkan kondisi saat seseorang terlalu sering mengonsumsi konten ringan hingga merasa otaknya “lelah” atau “membusuk”. Namun, menurut Desti Purnamasari, Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur (UMKT), istilah tersebut bukanlah terminologi medis atau ilmiah.

“Kalau dari segi psikologis, brain rot itu belum menjadi istilah ilmiah atau medis. Istilah ini pertama kali muncul dari obrolan netizen, terutama di kalangan Gen Z di media sosial, lalu menjadi populer dan bahkan diakui Oxford University Press sebagai salah satu kosakata populer tahun 2024,” katanya, saat menjadi narasumber obrolan SPADA Pro 2 RRI Samarinda. Rabu, (01/10/2025).

Menurutnya, secara harfiah brain berarti otak dan rot berarti membusuk. Namun, makna “brain rot” tidak merujuk pada kondisi otak yang benar-benar membusuk.

“Kalau diartikan mentah-mentah, otak membusuk itu terdengar menyeramkan, padahal maknanya tidak demikian. Istilah ini lebih digunakan secara kiasan untuk menggambarkan kondisi ketika otak terasa lambat bekerja karena terlalu banyak terpapar informasi,” ujarnya.

Desti menambahkan, istilah yang lebih mendekati penjelasan ilmiah dari fenomena ini adalah cognitive deficiency atau penurunan kemampuan kognitif akibat terlalu banyak stimulus eksternal, salah satunya dari media sosial.

“Ketika otak kita terus-menerus distimulasi oleh konten yang receh, ringan, dan dangkal, lama-kelamaan otak menjadi terbiasa dengan hal-hal yang instan. Saat dihadapkan dengan sesuatu yang butuh fokus atau pemikiran mendalam, otak bisa merasa stres,” katanya.

Fenomena kecanduan konten singkat seperti video lucu atau hiburan ringan di TikTok dan platform lain, lanjut Desti, berkaitan dengan kenyamanan otak terhadap stimulus cepat.

“Otak jadi ketagihan karena merasa terhibur terus-menerus. Saat tidak mendapatkan stimulasi itu, seseorang bisa merasa gelisah atau kehilangan semangat,” katanya.

Ia juga menjelaskan, kecenderungan anak muda lebih menyukai konten ringan bukan hal yang muncul tiba-tiba. Sebelum era media sosial seperti TikTok, manusia sudah lebih dulu dibombardir oleh banyak informasi yang menimbulkan stres.

“Sebagai bentuk kompensasi, otak mencari sesuatu yang lebih ringan, lucu, dan cepat dipahami. Dari sinilah konten-konten singkat jadi terasa lebih menyenangkan,” ucapnya.

Meski begitu, Desti mengimbau agar masyarakat, khususnya generasi muda, lebih bijak dalam mengonsumsi konten digital agar fungsi otak tetap optimal.


Mar