Tano Ponggol Menjadi Pusat Perhatian Akibat Peristiwa Tragis Tenggelamnya 2 Pemuda

oleh -2572 Dilihat
Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si


Samosir
– Tano Ponggol, sontak menjadi perhatian menyusul peristiwa tragis tenggelamnya dua pemuda di kawasan Tano Ponggol beberapa hari lalu yang dengan gencar ditayangkan media sosial dan media massa.

Ironisnya, ini bukan kejadian pertama. Pada masa konstruksi kanal pun, seorang pekerja dilaporkan hanyut terbawa arus.
Kejadian berulang ini menjadi peringatan keras bagi semua pihak bahwa kawasan ini menyimpan potensi bahaya serius, yang hingga kini belum dikelola secara menyeluruh.

Apa itu Tano Ponggol?
Revitalisasi kanal Tano Ponggol di Kabupaten Samosir merupakan bagian dari megaproyek strategis nasional dalam membangun kawasan Danau Toba sebagai Destinasi Pariwisata Super Prioritas.

Kanal ini telah mengalami transformasi fisik yang signifikan—dari kanal sempit warisan kolonial menjadi jalur air selebar 80 meter yang mampu dilalui kapal wisata besar.

Namun di tengah semangat modernisasi tersebut, muncul pertanyaan mendasar: apakah pembangunan telah benar-benar berpihak pada keselamatan manusia dan keharmonisan spiritual masyarakat lokal?

Sebagai kawasan wisata dan lintasan air yang padat aktivitas, kanal Tano Ponggol membutuhkan perlindungan lebih dari sekadar infrastruktur indah.

Dibutuhkan intervensi aktif dari Pemerintah Kabupaten Samosir bersama otoritas terkait melalui:
• Pemasangan papan larangan berenang dan peringatan bahaya di sepanjang kanal.
• Penempatan polisi pariwisata atau petugas jaga wisata di titik-titik strategis.
• Sistem pemantauan arus dan kedalaman kanal secara digital atau manual, khususnya pada musim hujan.

Tanpa tindakan nyata, kanal ini akan terus menjadi ruang rawan insiden, merugikan masyarakat lokal dan merusak citra pariwisata yang sedang dibangun dengan susah payah.

Menariknya, peristiwa tenggelamnya dua pemuda di kanal juga membuka tabir dinamika spiritual masyarakat Batak yang mayoritas memeluk agama Kristen, namun masih menjaga erat warisan kepercayaan tradisional.

Di tengah pencarian korban, selain doa dan ibadah dari keluarga serta para pelayan gereja, hadir pula sosok seorang ibu berpakaian putih-putih yang melakukan ritual lokal di tepi kanal.

Ritual ini dilakukan lengkap dengan sesaji dan tata cara tradisi Batak untuk “meminta izin” kepada penguasa danau, agar kedua anak muda yang hanyut dapat dikembalikan.

Fenomena ini mencerminkan sinkretisme spiritual yang khas di kawasan Danau Toba: agama Kristen Protestan dan Katolik berjalan berdampingan dengan kearifan lokal yang masih dihidupi, terutama dalam situasi krisis.

Di mata masyarakat, ritual adat bukanlah bentuk penyimpangan, melainkan bentuk ikhtiar terakhir, ketika upaya teknis dan doa belum menunjukkan hasil.