Tim 11 Peduli Alam Tanah Batak , Akhirnya Diundang Presiden ke Istana Negara

oleh -8 Dilihat

Jakarta – Presiden Joko Widodo atau Jokowi menerima kehadiran perwakilan dari 11 warga Sumatera Utara yang melakukan aksi jalan kaki selama 44 hari dari kawasan Danau Toba menuju Jakarta. Warga Sumut tersebut menuntut agar Jokowi menutup PT. Toba Pulp Lestari.

Mereka yang menyebut sebagai TIM 11 ini menyatakan keberadaan PT. Toba Pulp Lestari selama lebih dari tiga dekade telah merusak lingkungan dan menyusahkan kehidupan masyarakat adat setempat.

“Setelah menunggu selama sembilan hari di Jakarta, hari ini kami bertemu Bapak presiden. Bapak presiden tadi sempat terkejut bahwa ada aktivitas perusak lingkungan, yang dipikir beliau itu milik rakyat, ternyata milik perusahaan. Khususnya di perairan Danau Toba, yang keramba jaring apung,” ujar Togu Simorangkir, perwakilan dari TIM 11 usai bertemu Jokowi di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat, 6 Agustus 2021.
Menurut Togu, Presiden Jokowi menyebut cukup sulit memenuhi tuntutan masyarakat untuk menutup PT. TPL. “Beliau (Jokowi) mengatakan, pada prinsipnya, kalau untuk menutup TPL itu katanya agak sulit, karena memang akan ada hal-hal yang perlu dipelajari,” ujarnya.

PT Toba Pulp Lestari.

Kendati demikian, Togu berharap Jokowi tetap mempertimbangkan untuk menutup PT. TPL setelah membaca dokumen setebal 69 halaman yang telah diserahkannya. “Di dalam dokumen itu kami jelaskan alasan aktivitas PT. TPL jadi sumber bencana bagi masyarakat sekitar kaldera Toba, 30 tahun dosa PT. TPL ada di dalamnya,” tuturnya. “Semoga presiden di waktu senggang bisa membaca nanti”.
TIM 11 ini menempuh perjalanan sejauh lebih 1.700 kilometer dari Makam Sisingamangaraja XII di Toba Samosir ke Jakarta sejak 14 Juni lalu. TIM 11 tiba di Jakarta pada Selasa, 27 Juli 2021 atau setelah berjalan selama 44 hari. Perwakilan diterima Jokowi setelah menunggu selama sembilan hari.

TIM 11, merupakan singkatan dari “Tulus, Ikhlas, Militan”, beranggotakan Togu, Anita Martha Hutagalung, Irwandi Sirait, Christian Gultom, Erwin Hutabarat, Ferry Sihombing, Agustina Pandiangan, Lambok Siregar, Yman Munthe, Jevri Manik, dan Bumi Simorangkir, anak Togu yang berumur 8 tahun.
Togu mengatakan, ia dan Christian adalah seorang petani. Sedangkan anggota TIM 11 lainnya ada yang berlatar belakang penjahit dan disabilitas, guru honorer, panalik jagal di lapo, relawan medis, sopir, parbengkel, dan seorang opung.

Togu mengatakan, Aksi Jalan Kaki (Ajak) Tutup PT TPL ini merupakan akumulasi atas berbagai peristiwa yang dialami masyarakat adat Batak setelah keberadaan PT Toba Pulp Lestari. Puncaknya peristiwa pada 18 Mei 2021 lalu.

Masyarakat adat Natumingka, Kabupaten Toba, mengalami kekerasan karena mempertahankan tanah mereka yang hendak ditanami oleh pekerja PT TPL. Mereka diserang oleh ratusan orang yang membawa kayu dan batu.
Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi mengatakan, perampasan tanah oleh PT TPL mencerminkan permasalahan serupa yang dialami masyarakat adat di seluruh Indonesia. Padahal, kata Rukka, Undang-Undang Dasar 1945 mengakui eksistensi masyarakat adat.

“Namun sampai detik ini Undang-Undang Masyarakat Adat tidak kunjung disahkan sehingga pemerintah tidak punya petunjuk bagaimana mengidentifikasi kita, wilayah adat kita, dan bagaimana memenuhi hak-hak kita sebagai masyarakat adat,” kata Rukka.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Kartika, mengungkit perjuangan masyarakat adat Batak menolak PT Indorayon–yang kini bernama menjadi PT Toba Pulp Lestari. Dewi mengatakan penutupan Indorayon oleh Presiden B.J. Habibie pada 1999 merupakan amanat reformasi.

“Namun kita tahu terjadi pengkhianatan, di era (Presiden) Megawati (Soekarnoputri) Indorayon beroperasi kembali dengan nama TPL,” kata Dewi Kartika.

PT Indorayon beroperasi di Sumatera Utara sejak 1985. Sempat dibekukan Presiden Habibie pada 1999, perusahaan itu berganti nama menjadi PT TPL dan beroperasi lagi mulai 2003.
Dalam keterangannya pada Mei lalu, Direktur PT TPL Jandres Silalahi mengaku menyesalkan terjadinya bentrok dengan masyarakat. Ia mengklaim aksi yang berujung bentrok itu terjadi di tengah dialog antara perusahaan, masyarakat, Kesatuan Pengelolaan Hutan, dan stakeholder lainnya.
Jandres mengatakan lokasi penanaman merupakan konsesi yang memiliki izin dari negara dan telah memasuki masa rotasi penanaman keenam, berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 493/Kpts-II/92 tanggal 01 Juni 1992 Jo SK.307/MenLHK/Setjen/HPL.P/7/2020 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri. Dia juga mengklaim akan mendorong dialog dan solusi damai untuk menyelesaikan sengketa tanah tersebut.
?nikos?

Response (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *