Potret Kelas Menengah di Tanah Air: Serba Terimpit, Wajib Bayar Pajak, tapi Minim Bantuan

oleh -537 Dilihat

JAKARTA – Bayang-bayang kelompok berstatus “paling nelangsa” di Tanah Air menghantui warga kelas menengah.

Dengan status tidak miskin dan sulit kaya, kelas menengah di Indonesia acapkali terlupakan oleh pembuat kebijakan.

Perbincangan kelas “tanggung” ini pun menjadi topik hangat di antara pengguna X (Twitter) yang menuangkan kekecewaannya.

Tak sedikit di antara warganet yang membandingkan keuntungan tiga kelompok ekonomi, yakni miskin, menengah, dan kaya.

Akun @catuaries, misalnya, menilai bahwa masyarakat miskin yang tak membayar pajak penghasilan, sering kali mendapatkan subsidi dari pemerintah.

Sementara kelas atas yang dipenuhi orang-orang kaya, dianugerahi akses menuju berbagai skema pengampunan pajak sekaligus subsidi dalam bentuk keringanan tarif karena menanam modal.

Namun, nasib berbeda dirasakan oleh warga kelas menengah.

“Menengah: mau ga mau bayar pajak karena cuma single source of income, pajak yg dibayar secara percentage of income bisa jadi lebih tinggi daripada yg kaya, ga dapat subsidi, serba apa-apa pakai duit sendiri, udah gitu beberapa nyimpen duitnya buat ngutangin pemerintah lewat invest di SBN ritel,” tulis unggahan.

Kelas menengah serba terimpit

Anggapan kelas menengah yang kerap menjadi “korban” juga diamini oleh Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara.

“Memang kelas menengah ini kan yang pertama dia tidak mendapatkan bantuan sosial karena dianggap mampu,” ujarnya, saat diwawancarai wartawan, Rabu (6/3/2024).

Bhima melanjutkan, mayoritas kelompok kelas menengah juga minim menikmati berbagai subsidi, termasuk gas minyak cair (elpiji), bahan bakar minyak (BBM), serta listrik.

Di satu sisi, kelompok ini sebagian bekerja sebagai karyawan yang mau tidak mau akan langsung membayar pajak karena gajinya otomatis dipotong oleh perusahaan.

“Kelas menengah juga tidak memiliki kecanggihan seperti orang-orang kaya untuk melakukan penghindaran pajak, itu benar,” tuturnya.

Bhima mencontohkan, orang kaya di Indonesia bisa menjadi pemegang saham dan memiliki aset di luar negeri.

Hal itu terbukti dari banyaknya orang kaya yang terlibat dalam pengampunan pajak atau lebih dikenal sebagai tax amnesty.

“Tax Amnesty jilid I dan Jilid II, sudah begitu dapat pengampunan pajak lagi kan orang kaya,” kata dia.

Tak hanya itu, kelompok kelas menengah juga serba terimpit, salah satunya oleh mahalnya suku bunga kredit.

Bhima memaparkan, orang miskin berhak atas fasilitas kredit kepemilikan rumah (KPR) subsidi dari pemerintah.

Nasib berbeda terjadi pada kelas menengah yang tak mendapat fasilitas subsidi, sehingga harus membayar bunga KPR per tahun.

“Harus membayar bunga KPR bisa sampai 15 persen per tahunnya ini yang memberatkan juga bagi kelas menengah,” terang Bhima.

Rawan balik miskin

Lihat Foto Bank Dunia melalui laporan bertajuk “Aspiring Indonesia, Expanding the Middle Class” pada 2020 menjelaskan, 45 persen atau 115 juta orang Indonesia masuk kategori menengah rentan.

Kelompok tersebut berhasil keluar dari garis kemiskinan, tetapi belum berhasil masuk dalam kelompok kelas menengah, bahkan bisa berbalik ke kategori miskin.

Kelas menengah di Indonesia sendiri didefinisikan sebagai orang yang pengeluarannya berkisar Rp 1,2 juta sampai Rp 6 juta dalam sebulan. Pada 2020, kelompok ini berkisar 52 juta orang.

Sementara calon kelas menengah atau kelas menengah rentan adalah mereka yang pengeluarannya berkisar Rp 532.000 sampai Rp 1,2 juta per bulan.

“Dia baru saja keluar dari kemiskinan tapi dengan adanya tekanan ekonomi, misalnya harga beras naik, biaya kontrakan rumah naik, dengan mudah mereka bisa jadi orang miskin lagi sebenarnya,” ungkap Bhima.

“Jadi jumlah kelas menengah rentannya 115 juta orang itu termasuk jumlah yang sangat banyak sih,” imbuhnya.

Mirisnya, kelas menengah di Indonesia sangat sulit mendaki tangga untuk masuk ke kelompok orang kaya.

Bersusah payah seperti apa pun, kata Bhima, mereka akan sulit naik kelas karena mobilitas sosial yang macet di Tanah Air.

“Jadi begitu dia jadi kelas menengah, untuk mobilitas naik jadi orang kaya itu sangat terbatas. Itu yang menjadi tantangan,” ujarnya.

Kelas menengah sulit kaya

Salah satu pemicu fenomena sulit naik kelas adalah upah minimum yang terlalu rendah, serta tidak sebanding dengan kenaikan harga bahan dan barang.

Misalnya, inflasi bahan makanan yang angkanya mencapai 8,5 persen, sedangkan upah minimum hanya naik sekitar 3 persen.

Hal tersebut tak jarang membuat kelompok kelas menengah jatuh ke jurang pinjaman online (pinjol), yang akhirnya turut menjadi salah satu penyebab kesulitan naik kelas.

Kelas menengah juga harus bekerja dengan berbagai jenis pekerjaan untuk menutupi kebutuhan hidup.

Ditambah, lanjutnya, struktur ekonomi Indonesia yang terlalu bergantung pada ekstraktif dan komoditas kian membuat penguasaan kekayaan terpusat. “Mereka yang menguasai sumber daya alam, jadi yang kaya makin kaya. Terutama di saat era booming harga minyak, booming batu bara dan sawit,” ujar Bhima.

Sementara kelas menengah tentu tidak mengalami kenaikan pendapatan yang signifikan, meskipun ada limpahan harga komoditas global yang naik.

Butuh uluran tangan pemerintah

Menilik kondisi yang ada saat ini, Bhima menyampaikan, kelas menengah harus banyak mendapat uluran tangan dari pemerintah.

Bantuan pemerintah bisa dengan cara intervensi untuk menurunkan tingkat suku bunga yang memberatkan.

Selain itu, tekanan untuk mengendalikan harga tanah perlu dilakukan, sehingga kenaikannya tidak terlalu tinggi dibandingkan kenaikan pendapatan.

“Ketiga, mengendalikan harga-harga kebutuhan pokok termasuk konteks dalam hal ini adalah beras, karena mereka sensitif sekali terhadap naik turunnya harga beras,” ucap Bhima.

Perluasan lapangan pekerjaan di sektor formal, seperti industrialisasi pun akan membantu karena warga kelas menengah lebih memiliki kesempatan untuk meningkatkan pendapatan dan jaminan sosial.

“Terakhir, tentu memperbaiki sistem BPJS, baik BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan gitu ya. Jadi kelas menengah ini tidak perlu mengeluarkan biaya kesehatan yang terlalu mahal tapi mendapatkan fasilitas yang lebih baik,” kata Bhima.

Pemerintah fokus ke masyarakat miskin

Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui, kebijakan pemerintah saat ini memang belum optimal untuk melindungi warga kelas menengah.

“Persoalan middle class ini memang sesuatu yang perlu terus kita kalibrasi kebijakan-kebijakannya,” ujarnya dalam acara seminar nasional “Outlook Perekonomian Indonesia 2024”, dikutip dari Kompas.id, Rabu (28/2/2024).

Sejauh ini, menurut Sri Mulyani, pemerintah masih fokus menangani kelompok masyarakat miskin dan tidak mampu yang tergolong dalam 20 persen terbawah dari populasi.

Sementara untuk kelas menengah, belum ada fokus kebijakan khusus dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Dia mengatakan, hal itu karena jangkauan kelas menengah yang cukup besar dan dinamis dibandingkan dengan kelompok miskin.

Oleh karenanya, pemerintah saat ini hanya bisa memastikan akses layanan publik berkualitas dan mampu dijangkau kelas menengah, seperti infrastruktur, transportasi publik, akses pendidikan dan kebutuhan dasar seperti air bersih, listrik, dan internet terjangkau.

”Itu hal-hal yang jadi kebutuhan middle class. Mereka butuh itu, tetapi tidak punya daya beli yang cukup besar, maka pemerintah harus menyediakan, tetapi dengan harga terjangkau dan kualitas baik,” katanya.


Edit : Mar